Huru Hara (PAGI) Hari


300backtoschool333_1541882a

Pada suatu masa, pagi hari adalah saat yang paling tidak saya sukai.
Masa itu saat Soca –putri kami—masih duduk di bangku SD. Bangun pagi dan segala persiapan menuju sekolah sangatlah jauh dari menyenangkan buat kami.

 

Penyebab utamanya –mungkin—sekolah Soca terlalu jauh dari rumah. Kami tinggal di Rawamangun, di belahan Timur Jakarta, sementara sekolah berada di wilayah Pasar Baru, Jakarta Pusat. Jarak yang tak terlalu dekat untuk dicapai pagi hari ketika semua orang juga keluar rumah dan mengantar anak-anaknya ke sekolah.

Episode pagi hari penuh huru-hara ini berlangsung sekitar 15 tahun lalu, ketika jalan Pramuka Raya belum sepadat sekarang. Jarak yang ditempuh sebetulnya tak terlalu jauh juga. Kalau bangun di saat yang tepat, makan, bersepatu dengan kecepatan yang pas, kami bisa melenggang di jalan dengan nyaman. Tetapi sayangnya, kondisi serba tepat ini agak jarang terjadi. Malah bisa dibilang langka.

 

Masalah utama, adalah soal bangun pagi.
Entah bagaimana, kami bertiga ini punya kebiasaan menambah jam tidur barang semenit –yang kenyataannya bisa sampai 5 menit. Akibatnya bangunnya pun mundur sekian menit. Hal lain yang menambah habisnya waktu di pagi hari adalah kebutuhan mengumpulkan ‘nyawa’. Anak merasa perlu waktu sekian menit duduk di meja makan, kedip-kedip, tengak-tengok kiri kanan, meletakkan kepala di meja yang dingin. Mungkin sebagai upaya menambahkan semangat atau dorongan untuk benar-benar bangun dan menuju kamar mandi. Walhasil, pada saat ia mandi, kami sebetulnya sudah memakan waktu sekian menit dari yang seharusnya digunakan buat bergulir di jalan.

Habis mandi, kegiatan sarapan menanti.
Kunyah-mengunyah itu bukan hal mudah, sementara makan di mobil sangat tak disuka. Soca memilih menambah waktu tidur begitu kami masuk mobil. Alhasil, sarapan cuma dinikmati sekitar dua gigitan. Selebihnya masuk kotak bekal, yang akan dibuka pada saat istirahat jam 9 pagi ini. Padahal kegiatan sarapan itu penting, bukan? Saya harus cari akal agar Soca bisa sarapan, mengisi perut dengan baik dan benar.

Tanya sana sini, akhirnya datang jawaban dari teman sekantor. Tepatnya partner kerja. Ria Untari, namanya. Saat itu kami adalah pasangan art director (Ria) dan copywriter (saya) di Bates Indonesia. Ria dan saya punya bentuk keluarga yang sama: bapak, ibu dan satu anak perempuan. Nindy, anak perempuan Ria, usianya setahun di atas Soca. Kesibukan anak beranak itu sama dengan kami. Hebatnya lagi, Nindy persis Soca: perlu waktu beberapa menit untuk memperpanjang waktu tidur dan mengumpulkan nyawa sebelum melakukan hal-hal lain. Oya, termasuk tidur di mobil, dalam kasus Nindy, mobil jemputan.

Mendengar bagaimana Ria menyiasati kesibukan pagi, saya langsung memutuskan untuk meniru sepenuhnya saja. Saya bagikan pengetahuan baru ini pada suami. Tanpa ragu, ia sepakat. Horeee!

Besoknya kami pun menjalaninya, seperti ini…..
Untuk persiapan pagi hari, ada dua tahapan persiapan. Tahap satu, persiapan yang dilakukan sejak malamnya. Karena ingin buat scramble egg, maka saya siapkan telurnya. Botol minum sudah diisi air. Air untuk mandi sudah masuk ketel, duduk manis di kompor. Baju seragam –sesuai jadwal pakai yang telah ditetapkan untuk esok hari– rapi tergantung. Sepatu berjajar di dekat meja makan. Lengkap dengan kaus kakinya.

Persiapan tahap dua, begitu pagi datang. Anak dibangunkan seperti biasa. Dan masih dengan kebiasaan menambah waktu tidur itu. Sambil setengah tidur didorong ke kamar mandi. Begitu kakinya menyentuh lantai kamar mandi yang dingin, ternyata mata Soca agak terbuka sedikit. Tampak dia agak kaget karena harus langsung mandi. Tidak ada waktu antara bangun dan mandi. Begitu selesai mandi, langsung pakai baju. Sementara anak mandi, Mak bikin telur ancur di dapur. Anak selesai mandi, telur matang. Yeaaay!

Nah, di sini ada kegiatan yang kami lakukan bertiga sekaligus.
Soca duduk di meja makan pakai singlet dan celana dalam, baju dipakaikan oleh Mak. Sementara Bapak menyuapkan telur. Targetnya: satu anak kancing masuk, satu suap telur tertelan. Ada 5 kancing di baju, berarti ada 5 suapan yang harus selesai.

Langkah selanjutnya setelah kancing dan telur beres: pakai sepatu dan rambut. Saya mengepang rambut Soca, dan bapaknya memakaikan sepatu. Keduanya harus selesai bersamaan, supaya begitu beres langsung bisa naik mobil yang sudah dipanaskan bersamaan dengan masak telur tadi. Sangat sejalan dengan sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Beres? Gampang?
Harusnya begitu.
Tapi kenyataannya kok malah lebih hwarakadah.
Pasalnya, memasang kancing selagi anak makan dengan badan yang masih minta tidur itu, ternyata tidak mudah. Yang ada kancing dan lubangnya berselisih jalan. Setelah telur tinggal 1 suap, Mak masih mengatur kembali pengancingan baju. Hari berikutnya, ketika blus sudah bisa lebih terkendali, urusan suap menyuap justru kurang lancar karena sarapannya pancake yang butuh waktu makan lebih lama. Jadi begitu kancing dan rambut beres, anak masih kunyah-kunyah.

Belum lagi urusan sepatu yang dipadu dengan rambut. Ternyata dua kegiatan ini tidak bisa dipadu-padankan. Karena entah bagaimana, rambut ditarik, kaki jadi susah masuk sepatu. Giliran sepatu ditangani, rambut terasa makin kusut. Aneh tapi nyata. Akhirnya urusan pakai sepatu diputuskan di mobil saja, menjelang sampai sekolah.

Hari berikutnya, belajar dari pengalaman kemarin, sarapan dipilih yang tinggal telan: havermut. Sekali hap langsung lenyap. Kancing lancar. Rambut ditangani segera. Sepatu? Di mobil saja. Mak dan Bapak duduk di depan, anak tidur di bangku belakang mobil VW Safari kami. Ngeeeeeeeeeeng….. lancar sampai sekolah.

Begitu gerbang sekolah ternama itu tampak di belokan Jalan Pos, saya bangunkan Soca untuk pakai sepatu. Sambil setengah ngantuk, ia menjejak-jejakkan kaki di lantai mobil, mencari sepatunya. Begitu mobil berhenti di depan Kantor Pos Pasar Baru, saya buka pintu, dan mendapati Soca memandangi kami berdua dengan matanya yang bulat, “Sepatunya nggak ada, Mak!” He? Nggak ada? Kok bisa? Soca menjawab dengan memperlihatkan sandal jepit yang dipakainya habis mandi tadi. Ampun, bagaimana mungkin?

Ternyata oh ternyata, ketika memutuskan pakai sepatu di mobil, sepatunya lupa tak terbawa. Beli sepatu di sekolah? Tidak mungkin. Sepatu model khusus itu harus dipesan di tahun ajaran baru. Pulang ke rumah untuk ambil sepatu? Bisa dilakukan, tapi kapan sampainya? Alhasil, demi kebaikan tiga manusia di dalam mobil VW Safari itu, diputuskanlah Soca tak sekolah pada hari itu.

Jangan ditanya kesalnya hati ini saat itu. Tapi mau bilang apa?
Bagaimana dengan anaknya? Oh, begitu diputuskan tak usah sekolah, dia langsung memanjangkan tubuhnya, meneruskan tidur. Bapaknya? Siul-siul ringan, dan malah mengusulkan kami cari sarapan di dekat Lapangan Banteng. Daripada kesal berkepanjangan, usul diterima. Dan jadilah kami nongkrong di pagar Departemen Keuangan, Lapangan Banteng. Sepanjang jalan menuju rumah, kami tak habis tertawa-tawa mengingat alpanya sepatu di mobil.

Besoknya, hari Minggu. Libur.
Saya putuskan untuk tak menjalani tips dan trik pemberian Ria Untari. Kelihatannya cara itu hanya bisa dijalankan oleh Ria, Nindy dan Sam. Bertiga yang di Rawamangun ini tidak bisa mengikuti tata cara yang serba cak-cek-cak-cek begitu. Waktu untuk ‘mengumpulkan nyawa’ itu ternyata diperlukan oleh semua, Mak dan Bapak juga. Tak cuma Soca. Lalu kegiatan kunyah-mengunyah sambil pasang kancing juga tidak praktis, karena saling mengganggu masing-masing proses. Belum lagi kalau ketetesan makanan.

Setelah pikir bolak bali, akhirnya saya putuskan memilih sarapan yang bisa disantap ketika Soca masih setengah tidur saja. Apa? Saya ingat jaman adik-adik saya masih SD dulu, ibu saya menyiapkan tiga mug susu yang sarat vitamin dan suplemen, dan disodorkan ketika mereka bertiga masih setengah tidur. Dalam sepuluh teguk, susu beres masuk perut, dan tidur bisa diteruskan. Nah, cara itu yang saya terapkan pada putri kami ini hingga ia SMA. Dan ternyata cocok. Lumayan.

Mau hemat waktu lagi? Mandi malam hari sebelum tidur. Besoknya tinggal cuci muka, sikat gigi dan sisir rambut. Tapi belakangan cara ini tak kami teruskan karena menurut pelaku, kantuk tidak mau pergi kalau badan tak disiram air di pagi hari. Ya sudah.

Lalu sepatu disediakan tiga pasang. Dua pasang untuk dipakai bergantian. Terutama kalau kena hujan atau lumpur. Satu lagi mangkal di mobil, buat persediaan ketika kondisi gawat darurat kembali terjadi seperti tempo hari.

Segalanya berjalan lancar? Lumayan.
Tidak terlalu heboh, tetapi tak senantiasa mulus, karena pernah terjadi Soca lupa membawa tas sekolahnya, dan baru sadar ketika tiba di sekolah.
Kok bisa?

Ya, ketika pagi datang dengan tergesa, dan kita tak siap, segala yang tak terbayangkan bisa terjadi. Termasuk lupa bawa tas ke sekolah. Atau sepatu yang ada di mobil ternyata kiri semua.

Tak ada yang tak mungkin ketika huru-hara pagi hari melanda.
Untungnya hari-hari itu sudah berlalu buat kami.
Untuk teman-teman yang masih menjalaninya, doa kami beserta kalian.
Hadapilah huru-hara pagi dengan hati seteduh mungkin dan senyum selebar mungkin.

Semangat!

About rgaudiamo

a mother, a writer, an occasionally singer
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

8 Responses to Huru Hara (PAGI) Hari

  1. didit says:

    Mbak, itu satu anak, saya dan istri nyiapin utk 3 anak…. semua disiapkan malam sebelum tidur. Sayuran utk pagi semua sdh dirajang bersih malam hari, ikan sdh dibersihkan durinya sdh diberi bumbu, simpan kulkas, pagi tinggal panggang pake pan. Kaldu utk kuah sayur dimasak saat hari libur kasih wadah kecil2 utk sekali masak, bekukan. Bapak urusan dapur, emaknya urusan pakaian…. Suasana heboh yg bikin senang….

    Like

    • rgaudiamo says:

      Mas Didit,
      Wah luarbiasa: DUA JEMPOL!
      Kerja sama yang bagus sekali antara ibu dan anak.
      Cara yang perlu ditiru teman-teman yang punya anak-anak usia sekolah.
      Bravo, Mas Didit!
      r

      Like

  2. Gita says:

    ” telor ancur”… (Y) 😀 pada akhirnya, kebiasaan apapun pasti menyesuaikan dengan sikon kita masing-masing ya Bu.. 🙂

    Like

  3. bayutrie says:

    salam kenal mbak reda. saya masih menjalani huru hara pagi ini setiap harinya. kadang sampe keluar tanduk pagi2 😀 makasih untuk postingannya yg menyegarkan ini mbak…..

    Like

    • rgaudiamo says:

      Halo, Mbak Bayutrie.
      Salam kenal kembali….
      Ah, huru-hara pagi -kadang sampai malam- memang bagian dari hari-hari kita ya, Mbak.
      Sama, Mbak: tanduk tajam seakan tumbuh di kepala!
      Tapi percayalah, hari-hari ramai itu akan surut, seiring dengan semakin rileks-nya kita dan anak-anak semakin besar.
      Dan pada akhirnya, kita bisa duduk-duduk, menertawakan kelakuan sendiri saat bertanduk itu.
      Yang penting, yakin ini akan menyurut sambil ngajak pasangan kompakan, membantu kita 😀

      Dan sementara itu, let’s take a deep breath.
      Take sometime off to inhale, exhale, Mbak.

      Be blessed.
      r

      Like

  4. bayutrie says:

    iya mbak. berusaha menikmatinya saja.semoga semakin si semata wayang ini besar, semakin berkurang ke-huruhara-an ini. thank you mbak reda 🙂

    Like

Leave a comment