My First Tattoos Part 3 : Jangan Genap!


Belum lagi tattoo pertama genap berumur sehari, saya langsung bersiap mau buat lagi. Ini gara-gara ngobrol sama Soca. Dia bilang, bikin lagi yang agak gambar-gambar, gitu Mak. Bagaimana kalau penguin, usul saya. Penguin adalah binatang kesayangannya. Tapi Soca tak setuju. Dia mengusulkan kucing.

Mengapa kucing? Itu binatang kesayangannya di masa kecil. Kami sampai memelihara beberapa ekor di rumah. Tapi setelah Soca pergi, dan ayahnya tutup usia, saya tak lagi berminat. Buat saya kucing agak mengesalkan. Sulit ditebak, susah dipegang, maunya sendiri. Jadi, mengapa Soca usul kucing?

Soca mengejutkan saya dengan jawabannya, “Karena kamu kan kucing, Mak. Coba pikir-pikir, semua kelakuanmu persis kucing. Susah ditebak, maunya sendiri, nemu aja jalan, susah dipegang juga, dan nyawanya ada 9. Angka kamu kan 9, Mak.” Eh, begitu ya?

“Buat tattoo kucing, Mak buat kita. Aku suka sama kucing barangkali karena Mak nya kucing.” Dan jadilah saya membuat tattoo kedua, di hari kedua: kucing.

Mas Munir, kaget lagi hahahaha.

Sambil menyiapkan si kucing, kami banyak cerita. Dan tiba-tiba hari itu, kucing jadi sangat masuk akal menjadi tattoo kedua. Posisinya di mana? Mas Munir mengusulkan di bawah tengkuk. Nggak ada yang lihat dong? Betul, tetapi saya tahu dia ada di situ. Dan ketika saya lupa, ada orang lain yang melihat dan mengingatkannya kepada saya. Mungkin persis seperti bagaimana kita melihat diri sendiri. Kita kenal baik, meski tak harus melihat tiap hari. Dan ketika lupa, ada yang mengingatkan.

Proses tattoo kedua, ternyata begitu menenangkan, sampai saya hampir tertidur. Seperti kemarinnya, Mas Munir kembali mengingatkan untuk tidak kena sabun, dan rajin diolesi lotion yang ia berikan. Oya, lotion ini harumnya enak banget. Menenangkan juga.

Jadi sudah 2 tattoo.

Tetapi, saya mau buat sesuatu lagi. Maka setelah kucing, saya kembali lagi keesokan harinya (tiga hari berturut-turut). Sekali ini saya mau buat dua sekaligus. Yang satu, berupa tulisan tangan. Yang satu lagi saya minta dibuatkan oleh Mas Munir, berangkat dari tanda titik-koma, semicolon.

Malamnya, sehabis kerja, saya ke sana lagi.

Saya suka sekali dengan eksekusi yang dibuat Mas Munir. Dipasang di atas mata kaki. Sekali ini terasa lebih “menggigit” dari sebelumnya. Juga lebih lama, karena gambarnya berupa blok hitam. Si titik-koma ini saya persembahkan buat anak-anak virtual saya yang merasa sendirian, putus asa, dan tak punya teman untuk berbagi.

Dan yang kedua untuk malam itu: tulisan sendiri sebagai pengingat buat saya yang suka menunda, karena merasa selalu ada waktu. Nah, buat yang ini hampiiiiiiiir terjadi malapetaka. Penyebabnya? Saya sendiri! Saking isengnya mengulang-ulang tulisan, tiba-tiba kata-kata yang saya tuliskan itu berubah isinya. Dan yang berubah itu lah yang saya kirim ke Mas Munir. Pas lagi dikerjakan, tiba-tiba saya tersadar ketika melihat tulisan yang sudah ditempel, dan sedang dikerjakan separoh. Woiiii salah!

Huaduh, huaduh! Untung banget (tetep untung), Mas Munir menulisnya dari belakang. Kalau nggak, ya hancur sempurnalah. Windy yang menemani malam itu tertawa tak habis-habis. Nggak kebayang kalau bablas salah. Kacau sekali!

Empat tattoo sudah. Seorang teman yang baru kenal di sana, berteriak, “Bikin jadi ganjil, Mbak. Genap itu nggak bagus!” Eh! Kok tahu saya masih mau bikin satu lagi?

Sebelum balik ke Jakarta naik kereta malam, siang harinya saya membuat satu tattoo lagi yang akan selalu mengingatkan saya pada negeri Soca yang baru, pada harapan yang saya sematkan untuknya: kehormatan, nasib baik, kesetiaan, dan umur panjang. Dan hadirlah tattoo ke lima (ganjil, oi ganjil!) di pergelangan tangan kanan: Orizuru.

Mengapa tiba-tiba punya tattoo? Karena saya menginginkannya. Setiap waktu adalah tepat, menurut saya. Termasuk urusan bertattoo ini. Akankah bosan nanti? Rasanya tidak, karena apa yang saya miliki ini punya arti penting buat saya. Tak akan terhapus.

Oya, ini alamat Mas Munir, siapa tahu teman-teman ada yang mau buat juga

MK Tattoo Art -Jl. Harjono PA II no.122, Gunungketur, Pakualaman, Kota Yogyakarta. IG: @munirkusranto_tattoo

#tattoos#myfirsttattoos#munirkusranto#mktattooart#tattoo artist#orizuru#time is running out#cat tattoo#semicolon

Posted in Uncategorized | Tagged , , , , , | Leave a comment

My Very First Tattoo: My Daughter’s Name


Tattoo pertama saya adalah tulisan yang berbunyi: Soca Sobhita. Nama anak satu-satunya.

Setelah menghabiskan 12 hari bersamanya di Jepang, membahas rencananya ke depan, saya memutuskan menorehkan namanya, menjadikannya tattoo pertama saya.

Entah bagaimana, saya bahkan sudah tahu mau dipasang di mana: melingkar di tangan. nama anak satu-satunya. Bentuknya berupa tulisan tangan saya. Di tengah jalan, tergoda untuk memakai aksara Jepang, bertuliskan namanya. Saya minta Soca menuliskannya, saya bereskan pakai photoshop.

Sejak masih dalam perjalanan menuju Jogja, tulisan dalam aksara Jepang itu sudah saya kirim ke Mas Munir. Sorenya, sehabis bekerja, saya jalan kaki ke studionya. Ah, rasanya sangat semangat. Tak terpikir bakal seberapa sakit, yang ada rasa senang yang begitu penuh.

Buat Mas Munir, ini kejutan. Karena dia pasti masih ingat reaksi saya 6 tahun sebelumnya, ketika kami berkenalan. Tak tertarik bertattoo. Tiba-tiba hari ini datang sendiri!

Sesampai di studio MK Tattoo Art, Mas Munir sudah menyiapkan desain yang saya kirim siang tadi, di kereta.  

Melihat karakter tulisannya yang agak kaku dan pendek, ia menawarkan posisinya di bagian dalam tangan, memanjang. Saya setuju saja, karena memang tampaknya di situ pas.

Sambil menunggu Mas Munir menyiapkan Ketika kami mengobrol, iseng saya mengeluarkan tulisan tangan ssaya di buku catatan, “Awalnya sih saya mau buat ini…” Mas Munir langsung menyambar, “Ini lebih bagus. Dipasang melingkar di bawah siku.”

Whoaaa! Kok bisa tahu itu tulisan yang saya buat beserta posisi yang saya incer sejak awal?

Maka tulisan aksara Jepang rontok. Tulisan tangan saya yang dipakai. Seperti yang saya bayangkan (padahal saya nggak bilang sama sekali), Mas Munir mau membuat tulisan itu menyatu dalam satu garis. Bukan main!

Proses dimulai. Heran, saya merasa santai saja. Bahkan sangat tenang, menikmati proses, mengamati jarum yang menuliskan nama Soca. Sakit? Nggak! Cuma terasa seperti ada gigitan semut yang baik hati. Bukan semut rangrang yang pedes itu.

Tak sampai 30 menit, selesai. Oh, saya senang sekali. Memandangnya berkali-kali, memutar-mutar lengan, saya suka.  

Yang punya nama saya beri foto dan video, dia bilang cakep dan suka banget.

Malam itu saya pulang dengan hati riang.

#tattoos #tattoed girls #munirkusranto #tattoo artist #yogyakarta #mydaughtersname #my first tattoo

Posted in Uncategorized | Leave a comment

My First Tattoo(s) part 1


Betul, tidak salah baca: saya punya tattoo. Akhirnya 🙂

Ditorehkan tanggal 26 Maret 2024 yang lalu, oleh Mas Munir Kusranto MK Tattoo Art, di Jogja.

Yang tahu saya akan melakukan ini adalah Soca Sobhita. Dan sesungguh-sungguhnya, karena dia juga saya jadi punya ide bikin tattoo ini.

Jadi, ceritanya, ketika ke Jepang pada bulan Februari lalu, saya tersadar bahwa Soca adalah satu-satunya milik saya, yang pada saat bersamaan juga menjadi milik seseorang yang amat mencintainya juga.  Saya begitu ingin bersamanya, tetapi pada saat yang sama saya ingin dia tetap jauh di negeri orang, gembira menjadi dirinya sendiri, mengarungi lautan hidupnya (bersama orang yang mencintainya dengan sangat itu).

Tiba-tiba saya menyadari bahwa meski dia milik saya, tetapi di saat yang sama, dia tidak lagi milik saya semata. Saya harus berbagi dengan orang lain yang jadi pasangan hidupnya. Seorang teman bilang saya terlalu sentimental. Mungkin. Tetapi terus kenapa kalau saya memang sentimental dengan hal yang satu ini?

Berangkat dari “terlalu sentimental” itulah, saya jadi ingin melakukan sesuatu, punya sesuatu yang bisa selalu mendekatkan saya dengan Soca. Saya ingin sesuatu yang selalu menempel, menjadi bagian tubuh, sehingga tak usah dilepas, bahkan ketika mandi sekali pun. Dan saat itulah terpikir pada tattoo. Saya ceritakan ini kepada Soca, dan dia serta merta mendukung. SETUJU! Wah senang. Horeee!

Ini sesuatu yang baru juga.

Duluuuuuu sekali, ketika dia masih SMP atau SMA, saya pernah bilang mau buat tattoo. Oh, dia langsung bilang tidak. Bahkan agak marah, mengapa saya bisa-bisanya beride punya tattoo. Ayahnya, sama juga. Dia bahkan pake aksi bisu selama seminggu. Ya ampun, padahal itu baru ide, baru kepingin, lho!  

Tapi apa memang dari dulu ingin punya tattoo?

Tidak sama sekali. Meski senang melihat orang dengan tattoo bagus-bagus di tubuhnya, saya tidak mengerti mengapa orang pakai tattoo. Buat apa? Terus kalau bosan bagaimana? Saya ini pembosan sekali. Sedemikian gampang bosannya sampai tempelan stiker tattoo saja cuma tahan belasan menit di tangan. Ya, tattoo memang bisa dihapus tapi tetap berbekas dan kabarnya sakit bianget. Jadi, buat apa?

Tak kurang teman berupaya meyakinkan saya, bahwa saya pasti suka tattoo. Yogi Sumule, misalnya, empat tahun lalu sudah mengenalkan saya kepada Mas Munir. “Siapa tahu sehabis manggung jadi pengen punya tattoo.”

Tidak berhasil. Apalagi ditambah ucapan Mas Munir pada waktu kami berkenalan.

“Jangan gambar itu, nanti semakin panas,” katanya ketika saya bilang seandainya bertattoo mau pakai gambar macan atau singa.

Makin tidak jadi. Dan ide bertattoo lenyap dari pikiran.

Sampai muncul kembali sepulang dari Jepang itu.

Keinginan segera membuatnya begitu mendesak. Saya sendiri sampai heran, kenapa bisa ngotot banget gini, ya?

Tetapi mungkin memang sudah waktunya dibuat, karena tiba-tiba ada pekerjaan di Jogja. Tanpa menunggu, saya mencolek Mas Munir, dan sepulang bekerja di hari pertama, saya menemuinya. 

Sore hari, selepas jam buka puasa, tattoo pertama lahir. Dan besoknya disusul tattoo kedua. Lusa, tattoo ketiga dan keempat. Dan sebelum pulang, tattoo kelima.

Demikianlah. My first tattos(s): 5 dalam tempo 4 hari.

Terima kasih, Mas Munir.

#japan#tattoo

Posted in Uncategorized | Tagged , , , , , | Leave a comment

SEMBUH!


Minggu lalu, ketika berada di Kupang, mendadak iPhone saya tak mau diajak kerja. Dia hanya menampilkan gambar apel putih dengan bekas gigitan di pojok kanan. Begitu terus hingga siang. Segala cara yang saya temukan di google, sudah saya coba. Tak berhasil. Tempat reparasi iphone, tak ada di kota itu. Jadi, supaya kerja tetap lancar, saya beli handphone android di Erafone, Lippo Plasa, Kupang.

Kiri ke kanan: Oki, Bonita, Onni, Ami di IBK, Ratu Plaza

Selama beberapa waktu, jari-jari saya gagap. Terlalu biasa dengan iPhone membuat saya salah tekan terus. Lain yang dimaksud, lain yang muncul. Belum lagi saat mengetik pesan, wah auto correction-nya bukan main banget. Mau bilang pegel, jadi peel. Mau nulis melulu, jadi Melbourne. Jauh amat! Gemas.

Sesampai di Jakarta, saya langsung lari ke Ratu Plaza, menemui Oki di IBK, di lantai 3. IBK ini tempat saya membeli semua macs, dan iphone, dan ipad buat saya, Soca, dan Mas Ed. Kami mengenal IBK, dan Oki, sejak jaman Soca masih berumur 6 tahun, dan Oki baru tamat SMA (kayaknya). Sekarang Oki telah berputra 3 orang.

Di sana, wajah Oki tak terlalu tampak bahagia melihat kondisi iPhone saya. Dia bilang, akan coba dibawa ke iFix, untuk diperiksa. Diagnosanya: overload. Tindakan yang disarankan: reformat. Aduh! Kalau reformat kan berarti semua foto dan file dan data dan segala hal terkait hilang, dong!

Mbak Onni, dari IBK juga, usul membawa iPhone saya ke tetangga di ujung lorong. Dari sana, ada jawaban yang agak berpengharapan: kelihatannya bisa. Dan iPhone pun diperiksa, dengan tambahan ucapan: tapi sabar ya. Oh, tentu sabar.

Seharian saya menunggu, dan menjelang malam, iPhone diantar ke IBK. Tetap bergambar apel. Oh, no! Katanya, setiap batere terisi 50%, iPhone-nya mati lagi. Lha! Jadi harus bagaimana? Belum rela direformat, saya bawa pulang iPhone. Besoknya, saya biarkan dia istirahat dengan batere 0. Lusanya hingga 4 hari kemudian, saya pergi ke Luwuk bersama si Android.

Begitu tiba dari Luwuk, Senin, saya langsung ke IBK. Siap terima keputusan si iphone harus direformat. Sudah siap foto-foto hilang. Siap dengan rasa sedih secukupnya. Saya serahkan dia ke tangan Oki yang menghubungkannya pada kabel. Eh, tiba-tiba muncul gambar kabel dan laptop.

“Wah dia minta disambungkan ke desktop, Bu!” katanya. Dan begitu tersambung, muncul dialog box yang bertanya: iphone mau direformat atau di-update?

“Kita coba update, ya Bu. Kalau bisa berarti tidak usah reformat, berarti semua aman,” kata Oki lagi. Saya nurut saja. Kalau gagal update, saya sudah siap kehilangan semua, kok. Dengar-dengar, proses update iphone yang mogok macam milik saya ini biasanya tak berjalan lancar. Di tengah jalan biasanya terhenti, sehingga (teteup) harus di-reformat. Tapi apa salahnya mencoba, bukan? Dialog box mengabari diperlukan waktu 12 menit untuk selesai update.  Baik, kita tunggu.

Oh lamanya 12 menit itu!

Bolak balik saya menengok, melihat angka menit berkurang sedikit demi sedikit. Dan akhirnya SELESAI! Saya lihat Oki tampak semangat.

“Kita tunggu sebentar ya Bu. Kalau iphone bereaksi, kayaknya aman.”

“Kalau nggak?”

“Pasti bereaksi,” Oki yakin. Saya tidak berani berlega hati.

Lalu, iPhone saya itu memunculkan layar putih, apel, dan sebuah garis yang bergerak maju di tengah layar.  Kurang dari 3 menit, layar computer yang masih terhubung dengan iphone saya menampakkan foto-foto. Itu apa?

“Selamat, Bu! Semua aman!”

“Maksudnya?”

“Semua aman. Masih ada semua di sini.”

Ya, 20 ribu foto, sekian ratus notes, semua apps dengan status terkini terselamatkan.

Hore! Hore! Hore! iPhone-ku SEMBUH TOTAL. Bisa lari lagi seperti sediakalaaaaa. #grateful #saved

Oki, terima kasih. Kamu telah mencegah hati saya duka lara parah.

Kamu keren banget, sih Ki?

Terima kasih sekali lagi!

Jadi, kalau kamu perlu mac baru, mau tukar tambah, beli iPhone, iPad baru, berangkatlah ke Ratu Plaza, naik ke lantai 3 dari eskalator sebelah kiri, temui Oki dan Mbak Onni di IBK. Jam buka pk. 11.00-19.00. Ini nomor telponnya: (021) 72795279.

Seandainya mac atau iphone kamu kena gangguan, seilakan ke sini juga. Mereka bisa membantu memberi jalan keluar, menyembuhkan “sakit” di perangkat kerjamu. Mereka tak akan membiarkanmu mati gaya, sedih berkepanjangan.

Kalau kamu mampir ke sana, titip salam dari Reda ya.

Posted in Uncategorized | Leave a comment


Subscribe to continue reading

Subscribe to get access to the rest of this post and other subscriber-only content.

Posted in Uncategorized | Comments Off on

Menuju SOROWAKO – part #1


Subscribe to continue reading

Subscribe to get access to the rest of this post and other subscriber-only content.

Posted in Uncategorized | Comments Off on Menuju SOROWAKO – part #1

Ketupat Lebaran


Jaman kecil dulu, ketika malam takbiran tiba, kami sering menerima kiriman ketupat dan segala lauknya: sayur labu, sambel goreng ati, opor atau rendang atau semur.

Pada saat yang sama, Mak menyiapkan kue-kue/cake bikinan sendiri sebagai kiriman balasan.

Ketika menikah dengan Eddie Prabu yang berlebaran, maka sungguh layak dan sepantasnya kalau ketupat lebaran tersedia di rumah kami juga, bukan?

Masalah? Tentu tidak. Karena kami sudah memesan ketupat dari Bi Iyem yang bekerja di rumah kami. Di malam takbiran satu set ketupat lebaran tiba. Tampangnya cakep, rasanya enak.

Waktu berjalan, cucu Bi Iyem terus bertambah, membuatnya sibuk. Dan pada suatu hari ia memutuskan untuk tinggal di rumah, mengurus cucu. Begitu sibuknya sehingga ia tak bisa lagi menerima pesanan ketupat. Baiklah. Tetapi itu tidak berarti ketupat lebaran langsung abesn dari meja makan kami, dong.

Sungguh tak mungkin membiarkan Eddie berlebaran tanpa ketupat.

Apa yang harus dilakukan?

Segera cari solusi. Yang pasti bukan dengan saya turun ke dapur. Tidaklah mungkin karena saya mati gaya di urusan masak yang serius macam ketupat ini).

Solusi dicinta, Dharmawan tiba. Kedai Tjikini-nya menyediakan paket ketupat komplit! Tidak pakai lama, saya langsung memesan.

Sore hari sebelum bedug bertalu-talu, ketupat dan teman-temannya sudah tiba. Yang sedang berpuasa sedang entah di mana ketika paket itu tiba. Saya segera merapikannya di meja makan.

Soca dan saya memandang takjub panganan hari istimewa ini: Semua disiapkan dengan rapi dan cantik dan menggodanya, sehingga kami tak bisa menahan diri untuk menyantapnya. Ketika yang berpuasa muncul, dan siap berbuka, dia terheran-heran melihat kami sudah memegang mangkuk berisi ketupat dan sayur labu dan sambel goreng ati dan opor dan rendang dan koya dan emping. Makanan khusus untuk hari Lebaran itu sudah kami lahap di malam terakhir puasa. Duh, maaf ya. Nggak tahan!

Eddie lumayan rewel soal ketupat lebaran ini. Menurutnya, ketupat sayur itu harus dibuat oleh yang ahli. Dan menurutnya, yang jagoan bikin cuma dua orang: ibunya dan Bi Iyam.

Nah, begitu melihat kami -Soca dan saya- menikmati ketupat dan teman-temannya, dia langsung bertanya, “Siapa yang bikin?”

“Silakan dicoba.”

Dia menurut. Begitu kuah sayur labu masuk mulut, dia langsung manggut-manggut. Lalu mengambil mangkuk, ikutan makan.

“Seperti bikinan Ibu” dia mengambil mangkuk, ikutan makan.

“Siapa yang bikin?” tanya lagi.

Saya bilang ibunya teman.

“Enak banget.”

Belakangan Eddie tahu kalau saya memesan dari Dharmawan.

“Katanya ibunya teman,” katanya suatu hari.

“Memang. Ini dibikin Dharmawan berdasarkan resep ibunya yang sangat jago masak.”

Ketupat dari Kedai Tjikini yang dibikin dengan sepenuh hati oleh Dharmawan (berdasarkan resep ibunya), sejak pemesanan pertama itu, jadi hidangan utama hari Lebaran di rumah kami.

Tahun ini, Eddie tak bersama kami. Ia telah berkumpul dengan ibu dan bapaknya di negeri yang jauh di awan. Soca berada di Jepang. Tetapi itu bukan alasan untuk tidak merayakan Lebaran, ditemani ketupat lengkap Kedai Tjikini.

Maka saya pun memesan lagi. Menikmatinya lagi meski tak bersama Eddie.

Hei Ed, apakah di sana ada ketupat? Kalau ya, semoga seenak yang ada di sini, ya.

SELAMAT LEBARAN, TEMAN-TEMAN. Selamat merayakan hari kemenangan. Mohon maaf lahir dan bathin.

Dharmawan: terima kasih.

Foto: Dokumentasi Kedai Tjikini

Posted in Uncategorized | Leave a comment

ISENG-ISENG, BIKIN-BIKIN


Desain grafis.

Entah kapan dimulainya, tahu-tahu saya sangat suka mengamatinya. Mungkin sejak jaman Pak sering membawa pulang majalah Elle dan Marie Claire Prancis yang didapatnya di kantor. Mungkin dari buku-buku cerita bergambar yang dibeli Mak setiap kali ia bertemu toko buku. Tetapi yang pasti, sejak bertemu dengan Bebe Indah Miryam, desain grafis itu jadi amatlah menggoda. Saya rajin mengamatinya membuat layout tempat kami bekerja, Gadis. Ketika ia membuat rancangan baru buat Gadis, termasuk mengganti logonya: oooh, saya seperti permen karet, yang menempel di bawah bangku. Nggak mau lepas. Dari Bebe juga saya dapat buku Editing by Design karya Jan V. White. Buku besar dan tebal yang membuat saya belajar banyaaaaaaaaak sekali, dan sampai hari-hari terakhir saya di dunia majalah, ilmu dari buku ini tetap berlaku.

Ketika bekerja di biro iklan, contekan saya bertambah berkat kerja bersama para partner art director saya. Widyalupi Nonis, Maria K. Sum, Ria Untari, adalah teman kerja sekaligus kakak guru yang sampai sekarang ilmunya tetap saya simpan.

Desain grafis.

Barangkali ini yang membuat saya ngotot kembali ke dunia majalah. Bukan menulisnya, tetapi melihat bagaimana tulisan jadi begitu hidup berkat desain. Dengan atau tanpa foto, tulisan bisa dibuat menggoda untuk dibaca. Training perihal majalah Cosmopolitan di New York membuat saya memahami lebih jauh tentang desain grafis, yang ternyata memerlukan logika. Tak melulu rasa. Noni Soeparman adalah rekan kerja sekaligus partner adu ngotot setiap kali kami akan mengeksekusi cover.

Desain grafis.

Terlalu menggoda untuk tidak dicoba. Dan hari itu tiba ketika Dua Ibu akan membuat album musikalisasi puisi. Minta tolong pada seorang desainer, nggak jadi-jadi. Minta pada yang lain, hasilnya sungguh tak menggembirakan hati. Akhirnya nekat bikin sendiri. Dibantu Andri Sonda, saya minta ia mengajari aplikasi photoshop (super sederhana) dan indesign (secukupnya). Setiap langkah saya catat, lalu utak-atik sendiri. Oh, keringetannya seperti air curahan dari ember, dong. Deras. Tapi hati terlalu geram untuk menyerah.

Cover album Gadis Kecil, dibuat dengan memanfaatkan foto Soca yang sedang main hujan, dan tulisan tangan saya yang “ibu-ibu” banget (andalan bikin surat ijin nggak olahraga buat teman-teman SMP). Ketika jadi, banyak yang berkomentar, sederhana tapi nendang. Terima kasih. Sederhana karena bisanya itu, hahaha… Kalau nendang, mungkin karena pakai warna andalan: merah.

Setelah itu, album Becoming Dew. Yang ini –menurut saya—tidak sukses sama sekali. Tetapi album ini kan dibikin hanya buat dokumentasi dari dua orang yang baru berbaikan setelah musuhan sekian tahun. Jadi biar kelihatan, tercatat, ya pakai cover deh. Dibuat dengan memanfaatkan foto suami dan type face yang ada di computer saat itu. Usaha: less than zero.

Desain grafis.

Dan saya semakin tergoda, semakin nekat mencoba ini itu. Hampir semua cover album AriReda saya pembuat desainnya. Kecuali Suara dari Jauh, yang semua gambarnya dibuat oleh seniman idola, Ruth Marbun. Setelah proyek yang satu ini, saya kembali menggunakan karya Ruth untuk album terakhir, AriReda Menyanyikan Puisi Sapardi Djoko Damono.

Membuat desain cover album tak selalu langsung jadi. Seperti album kedua AriReda, yang muncul 8 tahun setelah album pertama itu. Waduh desain yang nggak masuk seleksi lebih dari 25! Bahkan sempat minta bantuan dua desainer untuk ikutan bikin. Tetapi tidak lolos seleksi  kurator saat itu: Hendro Yuwono, Felix Dass, dan Ari Malibu. Sampai putus asa rasanya. Cover yang akhirnya terpilih, saya buat setelah melihat pameran karya Ibu Sri Astari Rasjid di Kawasan Kota Tua. Terpesona saya pada patung Drupadi buatannya. Saya foto dari belakang, lalu iseng-iseng saya beri tambahan gambar daun, lalu beri teks. Eh, langsung approved! Moga-moga emang mereka senang, bukan karena kasihan sama saya yang tiap hari kirim desain.

Desain grafis.

Ada apanya ya? Kok bisa begitu menggelitik? Mungkin bermain dengan gambar, dengan teks, dengan warna. Apa pun itu, saya jadi senang mendesain. Dari cover album, merambah ke cover buku, sampai desain buku secara utuh (Na Willa itu saya yang desain, dirapikan oleh Cik Guru Noni Soeparman).Semua bikin “nyala” meski ada juga sisi nggak asiknya ketika memeriksa teks, foto/gambar jangan sampai terpotong/tertimpa teks(ini sering terjadi, sih) sebelum naik cetak.

Satu yang bikin agak gimanaaaa pas bikin adalah buku Catatan Perjalanan AriReda. Tiap baca teksnya, ada saja yang mau ditambah dan diganti dan dihapus. Kacau. Untung ada Felix yang gebah-gebah, jadi selesai tepat waktu. Oya, satu hal yang selalu bikin gemas adalah soal pilihan fonts/typeface. Kalau kerja sama Felix, dia hampir selalu complain soal huruf yang saya pilih. Kurang modern. Kurang kekinian. Kurang sleek. Pas dia bilang begitu, saya selalu jawab, “Masak sih?” Tapi setelah diam sebentar, dan dilihat-lihat lagi dengan hati tenang,  yang dia bilang itu benar adanya, hahahaha. Kurang ngulik huruf banget! Belajar lagi nanti, ya.

Eh, belajar lagi? Memangnya mau desain-desain terus? Hmm, nggak tahu ya. Tapi yang pasti beberapa bulan lalu, sempat bikin desain logo dan selongsong untuk restoran kesayangan, The Yap’s Kitchen. Saya suka banget ngerjainnya. Semoga yang dibikinin senang juga.

Jadi akan mendesain terus?  Barangkali. Meski telunjuk sering pegal dan mendadak kaku karena kelamaan geser-geser trackpad dan kesal kalau ada yang terlewat karena nggak teliti, kegiatan yang satu ini sangatlah mengasyikkan.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Literasi, lebih dari sekedar membaca


Terima kasih sangat untuk tulisan yang indah ini, Nisa #peluk

nisa.belajar.bercerita.

Kemarin saya diundang Sekolah Kembang untuk menikmati “Akhir Pekan Gembira” bersama Na Willa, seorang gadis kecil yang menurut saya adalah seorang anak yang selalu gembira, pintar, sehat, aktif bergerak, bebas dari bias gender, gemar membaca, ideal lah sebagai seorang anak 😉 Di mana saya mengenal Na Willa? Dari dua buku tentangnya. Bukan fiksi, tokoh Na Willa benar-benar ada, Bu Reda, penulis buku ini, bisa menjaminnya 🙂

Buku ke-2 dari serial Na Willa, yang menurut Ibu Reda semua tidak ditujukan untuk menjadi buku anak-anak. “Saya ingin berbagi pada orang tua mereka, mengingatkan bahwa kita juga pernah jadi anak-anak sehingga perlu lebih empati pada mereka. Tetapi ternyata anak-anak suka dan digunakan di sekolah-sekolah.”

Saya sudah mengagumi Ibu Reda sejak membaca buku lain yang ditulisnya, “Aku, Meps, dan Beps”. Menurut Bu Reda, ada beberapa sekolah yang juga menggunakan karya-karya beliau untuk kegiatan membaca, namun apresiasi yang diberikan Sekolah Kembang tidak ada bandingannya. Ini…

View original post 942 more words

Posted in Uncategorized | Leave a comment

[Resensi Buku] Aku, Meps, dan Beps : Menjadi Keluarga Bahagia, Bukan Sempurna


Terima kasih sudah berkenan membaca, menyukainya, dan mengulasnya sekaligus.

Perpustakaan Dhila

Kelihatannya aku sudah ketularan penyakit Meps: pelupa. Senin yang lalu, waktu sudah sampai di depan sekolah aku baru ingat kalau lupa bawa tas.” (Halaman 80)

1489426297166

Bagaimana rasanya punya orang tua yang unik? Ibu berambut pendek dan ayah berambut panjang. Ibu yang sipit berkulit putih dan ayah hitam bermata besar. Ibu yang bekerja di kantor dan ayah yang bekerja di rumah. Atau bagaimana rasanya mempunyai piaraan ayam, nyamuk, dan semut? Mari bertanya pada Soca.

Aku panggil emakku Meps dan bapakku Beps. Kenapa? Hihihi, aku enggak tahu. Tahu-tahu aku sudah panggil mereka begitu.” (Halaman 1)

Aku, Meps, dan Beps adalah ‘buku harian’ yang ditulis Soca Sobhita dalam rentang waktu sejak masuk sekolah sampai hampir lulus Sekolah Dasar dibantu Meps-nya, Reda Gaudiamo. Catatan yang sudah sejak lama ‘ditinggalkan’ coba dihidupkan kembali oleh Reda dan Soca bertahun-tahun kemudian. Jika Na Willa semacam catatan perjalanan milik Meps–Reda Gaudiamo–saat TK, maka Aku…

View original post 428 more words

Posted in Uncategorized | Leave a comment