Tiba-tiba…


Surabaya, 1961

Surabaya, 1961

Saya sangat merindukan mereka berdua.

Betul, mereka selalu ada di hati. Tapi pagi ini, ketika naik ojek ke kantor, ketika duduk ngopi dan makan sepotong roti, rasa rindu itu bukan main hebatnya. Makin tak tertahan ketika saya iseng memutar lagu Prancis, 1-2-3 dari Catherine Ferry. Lagu berirama cepat dan riang ini justru membuat hati saya terasa amat berat.

Seminggu lalu, Mak ‘merayakan’ ulang tahunnya yang ke 79, bersama para malaikat. Semoga saat itu Pak ada di sampingnya. Membantu Ibu meniup lilin, dikelilingi teman-temannya, juga anjing-anjing kesayangan mereka berdua.

Mak adalah perempuan super pandai. Segala hal dia tahu. Segala hal dia bisa. Kalau ada yang tak diketahui, maka ia akan mengejar, mengulik, sampai tahu dan amat paham. Memasak, misalnya. Dari cuma bisa memasak air, Mak bisa buat Bandeng Isi, roti, membuat mie sendiri…. Atau menjahit. Dari cuma bisa jelujur, ujung-ujungnya bisa membuat baju kami, termasuk baju pengantin saya: selalu pas, selalu nyaman, selalu cantik.

Mak suka menyanyi. Suaranya bening, merdu. Jaman saya kecil, kami sering duduk berdua menghadap radio, menyanyi bersama penyanyi yang suaranya tengah berkumandang. Mak mencatat semua lirik di sebuah buku kecil. Tulisannya yang bagus dan jelas, membuat saya bisa membacanya sejak belum sekolah. Oya, Mak mengajari saya membaca dengan sistem A I U E O. Setelah bisa baca, kami sering baca buku cerita bergantian, dari sebaris-sebaris sampai akhirnya saya membacakan seluruh cerita untuknya. Mak sangat pandai berhitung, matematika, aljabar, segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pasti. Mak sangat presisi di hampir semua hal. Mungkin itu juga yang membuat jahitannya selalu bagus dan enak di badan.

Oya, Mak juga pernah jadi atlet jaman SD dan SMP dulu. Kata Mak, dulu ia sempat bercita-cita jadi atlet atletik (larinya sangat cepat) atau berkuda (ia sangat handal menunggangi kuda peliharaannya di Sumba sana). Tapi semangat bersekolah di Jawa membuatnya melupakan mimpi itu.

Mak sangat pandai menuangkan idenya dalam bentuk tulisan. Apa saja bisa jadi bahan tulisannya. Mulai dari catatan resep dengan komentar-komentar ringan, sampai tulisan renungan yang ia kirimkan untuk penerbitan buku Kristen.

Bahasa Indonesianya luarbiasa istimewa. Ketika bercakap-cakap di rumah, Mak bisa melakukan koreksi ketika kalimat kami tak jelas ujung pangkalnya. Di rumah, tak sekali pun kami memakai kata lu, gue atau dialek Jakarta. Kami ber-saya senantiasa. Menyebut nama sendiri sebagai penunjuk kata ganti orang pertama, hanya diijinkan sampai kami kelas 1 SD. Setelah itu, semua bersaya-saya. Tetapi, Mak bukan penulis puisi. Ia bilang, puisi hanya untuk orang yang terlalu romantis dan tak punya kesibukan lain dalam hidupnya. Aih!

Satu lagi: Mak sebetulnya bisa buka usaha home improvement. Pertama, dia suka menata rumah: tata letak lemari, sofa bisa berganti tiap dua bulan sekali. Kedua, dia bisa membetulkan aneka rupa barang: dari seterika rusak sampai atap bocor. Pernah suatu ketika, Pak membuatkan dingklik untuknya. Tapi begitu diduduki, dingklik itu langsung rebah, rata dengan tanah. Dengan cekatan Mak mengambil palu, mencopot paku yang ada, dan memalu ulang semuanya. Dalam sekejap, dingklik langsung kokoh dan bisa dipakai hingga bertahun-tahun. Ya, begitulah Mak: bekerja cepat, cekatan, rapi.

Pak lain lagi.
Setiap kali dia membetulkan sesuatu, kerusakan yang tadinya kecil saja bisa menjadi lebih parah. Bahkan sangat sering berakhir dengan rusak total, tak bisa dipakai lagi. Sama sekali. Entah berapa banyak kipas angin kami yang tamat riwayatnya begitu ditangani Pak. Atau atap yang semakin bocor setelah Pak naik ke wuwungan.

Tapi Pak juara menggambar. Kalau bercerita, dia pasti sambil memegang pensil dan kertas, menggambar semua tokoh serta adegan-adegan penting cerita. Cepat, gampang, bagus. Masih saya simpan beberapa gambarnya, berupa sketsa yang dibuatnya dalam sekejap.

Seperti Mak, Pak juga suka menyanyi. Tetapi lagu-lagunya suka membuat sakit kepala, karena menurut saya –waktu itu—isinya jerit-jerit saja, dan sulit dipahami apa yang disampaikan. Belakangan saya tahu itu lagu seriosanya Mario Lanza. Ya ampuuuuun…..

Pak bisa main gitar, piano, akordion, flute, harmonica. Kalau dia bisa mengulang masa mudanya, saya rasa dia akan jadi pemain music. Atau pemain drama. Kenapa? Karena Pak pecinta film dan dia pernah main drama beberapa kali di jaman muda dulu, di pentas drama klasik Cina, di Banda Aceh.

Satu kehebatan Pak, yang mungkin agak menyiprat pada kami, anak-anaknya, adalah kecintaan pada bahasa. Pak bisa bicara dan menulis dalam 7 bahasa asing: Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Jepang, Cina (semua dialek), Spanyol. Kalau mau ditambah dengan yang ‘hanya bicara saja’, maka ada bahasa Italia dan Jawa halus di sana. Kami melihat Pak seperti orang ketagihan belajar bahasa. Dan ketika ia mempelajari bahasa tertentu, maka itu berarti segala hal yang terkait dengan asal bahasa itu ikut masuk di kepala. Ketika belajar bahasa Spanyol –bahasa terakhir yang ia kuasai, di usia 70-an—Pak juga mempelajari puisi, arsitektur, kebudayaan…. Dan kalau sudah sampai tahap itu, berarti rumah kami –tepatnya di ruang tamu- buku-buku yang terkait dengan itu pun terserak dengan leluasa.

Kalau Mak sekolah hingga tingkat perguruan tinggi, dan lulus dengan gelar Sarjana Muda, maka Pak berhenti di level Mulo, alias SMP jaman Belanda. Satu hal yang mengherankan kami adalah, pilihan Pak untuk sekolahnya ini. Setamat Mulo, Pak menolak meneruskan ke HBS. Ia memilih mengulang, ya MENGULANG di SMP, tapi di sekolah yang berbeda. Kalau awalnya masuk SMP Belanda, maka di kali kedua ini ia memilih SMP Tionghoa. Kata Pak, waktu itu ayahnya marah besar. Tapi Pak tak peduli, ia jalan terus. Apalagi ibunya mendukung habis-habisan. Oya, Pak itu anak kesayangan ibunya. Sangat.

Kemampuan Pak berbahasa terbukti ketika Jepang masuk Banda Aceh. Kakek saya yang ketika itu menjadi pemimpin warga Tionghoa di sana, harus berurusan dengan pemimpin pasukan Jepang. Kakek saya kesulitan berkomunikasi dengan orang Jepang, dan merasa perlu punya penerjemah yang selalu menemani setiap kali ada pertemuan. Tahu anaknya lancar membaca kanji, dan suka bahasa, maka ia mengajak Pak ikut serta di setiap kesempatan. Pada hari pertama, Pak banyak diam. Hari kedua, Pak membawa buku catatan dan pensil: begitu berlangsung pertemuan, Pak meminta si orang Jepang menuliskan isi percakapan dalam tulisan Kanji. Setelah pertemuan selesai, Pak minta ia membaca tulisan tadi. Hari ketiga, kegiatan yang sama berulang. Hari keempat, Pak sudah lancar berbahasa Jepang. Secepat itu ia belajar bahasa. Kebangetan!

Kalau Mak tak suka menulis puisi, Pak justru sebaliknya. Surat-surat yang ia kirimkan pada Mak, sangat puitis. Pernah saya temukan di buku catatan kerjanya kalimat-kalimat pendek yang lebih mirip puisi ketimbang catatan. Sering ia mengambil potongan berita, cerita atau paragraph dari buku yang sedang dibacanya, lalu diterjemahkan ke lain. Ada tulisan dari bahasa Inggris yang ia alihkan ke Jerman, lalu ke Prancis, lalu ke Jepang, Indonesia… Setelah itu, ia periksa ulang tata bahasa, pilihan kata, satu persatu. Kebiasaan ini sepenuhnya milik Pak –tak satu pun dari kami yang kebagian ‘ketahanan’ ini. Oh ya, masih soal bahasa, Pak bukan orang yang suka mencampur bahasa satu dengan yang lain. Bila ia diajak bicara bahasa Inggris, maka seluruh kalimat yang ia ucapkan berisi bahasa Inggris saja. Tak ada campur-campur bahasa Inggris dan Indonesia. Atau bahasa Belanda. Ketika temannya santai mencampur bahasa Belanda, Indonesia dan Jawa, Pak dengan santai pula bicara dalam bahasa Belanda yang utuh, lengkap tak terselip bahasa lain. Katanya, kalau mencampur-campur aneka bahasa, maka cara berpikir kita akan kacau dan pesan yang kita sampaikan pun tak sempurna. Kasihan yang diajak bicara, nanti salah tangkap, salah mengerti, katanya.

Tak ada habisnya cerita dan kenangan akan Mak dan Pak.
Sedang apakah mereka sana?
Mungkin sedang sibuk dengan proyek pemberian Malaikat…
Atau santai kongkow-kongkow dengan sahabat mereka….

Apa pun, saya merindukan mereka.
Dan setiap mengingat hari kepergian mereka ke tempat yang jauh tak terjangkau, hati terasa berat.

Orang bilang, waktu menyembuhkan luka. Menurut saya, luka itu tak pernah sembuh. Waktu membantu kita menjalani hari-hari bersama luka itu.

Rindu kami padamu Mak, Pak….

 

Catherine Ferry: 1, 2, 3 -http://youtu.be/yIbiSbxt_E8

About rgaudiamo

a mother, a writer, an occasionally singer
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

26 Responses to Tiba-tiba…

  1. Waaah! terharu bacanya mba Reda. Orang tuanya sangat berbakat yah? bener tu kata Pak soal campur2 bahasa, tapi susah kadang2 kalau tidak bisa ingat kata2 yang selayknya. 🙂

    Semoga waktu benar membantu yah mba. 🙂

    Like

  2. Priyanti Djoehana says:

    Tulisan yg sangat menyentuh Reda, sangat bangga bisa mendapat kesempatan kenal dan bekerja satu kantor dengan Pak kamu….beliau memang sangat inspiratif. Salam, Priyanti.

    Like

  3. Kristopo says:

    Reda … sungguh ber’bahagia’ pernah memiliki dan hidup bersama ‘Mak’ dan ‘Pak’ yang bijak, cerdas dan santun dalam menyampaikan pesan-pesannya. Semoga ungkapan tersebut bisa menjadi renungan dan diwujudkan dalam peri kehidupan kita sehari-hari … untuk selalu berpikir cerdas, bertutur kata santun, dan senantiasa rendah hati mendengar pendapat orang lain.

    Like

    • rgaudiamo says:

      Terima kasih, Mas Kristopo.
      Wah lama nian kita tak jumpa ya.
      Mari kita berdoa agar kita bisa menjadi contoh buat anak-anak kita. Dan saya pikir itu doa ayah dan bunda kita, ya Mas Kris.

      Have a blessed day.
      Big HUGS,
      r

      Like

  4. Endah says:

    Mbak, sangat senang mengenal mereka lewat tulisanmu. Mak dan Pak selalu besertamu dalam semangatmu. Peluk!

    Like

  5. julianty says:

    Ah..mereka orabg tua luar biasa ya mbak..selalu belajar dan mau belajar…kenangan manis yang indah ya mbak..semoga mereka bahagia disurga berdua..amin

    Ps.kapan kita cerita cerita lagi nih mbak..seruu..

    Like

  6. Dian Andayani says:

    Sangat menyentuh. Senang membaca tulisan anda, mbak Reda…sukses selalu

    Like

  7. Palupi UphieL says:

    selalu suka tulisan mba reda “inspiring as always”

    Like

    • rgaudiamo says:

      Terima kasih sangat, Palupi Sayang….
      Kalau Mak ku masih ada, dia pasti menceramahimu, memaksamu untuk mengganti nama panggilan yang Uphiel itu. Dijamin. Hehehehe….
      (dan diam-diam aku juga ingin kau melupakan nama itu. It’s about time, to shed that ‘nick name’…. maybe).

      Love you: ALWAYS!
      r

      Like

  8. Anna Oesmani says:

    Accchhh kamuuu.. membuatku teringat Pak ku.. Mungkin mereka berdua sedang bercerita tentang anak2nya yang ternyata saling mengenal. Semoga persahabatan bisa terjalin seperti kita ya.. Akan kujaga Mak ku yang masih bersama.. Peluuuukk kencaaanngg sekaliii…

    Like

    • rgaudiamo says:

      Aku rasa begitu.
      Dan mengingat keaktifannya, kok aku yakin bapakku sudah mengajak Pak mu keliling-keliling, grand tour di sana. Mungkin juga sudah mengajak ikut kegiatan apa gitu…. Rasanya begitu.

      Like

  9. Natalia Raphaela says:

    dear mba Reda … bahagia + sedih bacanya inget papa aku yg sudah damai diSurga … speechless … GBU always mba (mas + Soca)

    Like

  10. sahda says:

    Ga bisa berkata-kata mbak
    Sangat menyentuh..
    Betapa orang tua akan selalu menjadi salah satu bagian terbaik hidup kita..
    Salam hangat..

    Like

  11. Mpok says:

    You are obviously a perfect combination of Pak & Mak. From the tiny old picture, you look so much like your mom (since I never had the opportunity to meet either of your parents). The music talent apparently came from both. The linguistic gifts from your dad and the discipline from your mom. Reda, dear, you are a perfect example that the “fruit” does not fall far from the tree 🙂 As for me, I will try my very best to follow your dad’s philosophy. Not to mix language when speaking or writing. Unfortunately, my brain is just way too scattered to the point of frustration whenever I can’t remember certain words in either language.

    I am sure that your Pak & Mak are smiling and perhaps deeply moved when they read your tribute for them. They are definitely proud of you and what you’ve done. They are watching over you, your siblings, and the grand kids too.

    My mom and dad are doing the same thing too. They are all waiting for us up in the heavens. I can’t wait to see them again.

    Hugs, love and prayers,
    Mpok..

    Like

    • rgaudiamo says:

      Dearest Mpok…
      Thank you for visiting me.
      I guess each and everyone of us is a perfect combination of our Pak and Mak. You too, for sure. It is -actually- so difficult for me to speak and write in one language, no mixing. My knowledge and ability to speak French is sooooo low, English? Far from perfect. Not to mention Italian -just pieces of words and broken phrases. You write so good, Mpok Tut. But most of all, I admire and miss your voice when you read a paragraph or shorty-short stories in our English class back then.

      Remember Monkey’s Paws? During the drills, I almost always lost track of my lines, since I got so caught up, listening to you reading your lines… The way you delivered it: like music to my ears.
      One day, when you come visit, let’s sit together. Do read me a story. Let me hear my kind of music again.

      Miss you much, Mpok Dearest.
      hugs-love-prayers, always
      r

      Like

  12. Lewat editum, menyasar hingga tiba di blog ini.
    Lalu terpaku pada dua tulisan pertama yang terbaca, Jalan-jalan (3) dan tulisan ini.
    Salam kenal dan terima kasih atas kehangatan yang terbagi atas tiap kata yang telah tertuliskan =)

    Liked by 1 person

  13. arisanti says:

    Baru baca tulisan yang ini. Sekarang tahu deh dari mana bakat luar biasa Reda…paduan yang nyaris sempurna.

    Like

Leave a reply to rgaudiamo Cancel reply